XL Vs Telkomsel, Persaingan yang melibatkan bocah polos

Sebuah iklan milik operator seluler Telkomsel yang barusan ditayangkan sebuah stasiun televisi swasta membuat bulu halus di tengkuk saya merinding. Iklan versi terbaru itu menampilkan seorang pelawak yang lagi tenar bernama Sule sebagai bintang utamanya.
Memang tidak ada adegan asusila ataupun gambar tidak pantas dalam iklan tersebut. Namun sepotong kalimat terakhir yang diucapkan Sule membuat saya terhenyak.

“Saya kapok diboongin ama anak kecil,” begitu kata Sule sembari tertawa menyeringai.



Sekilas, kalimat itu terkesan biasa. Tapi menjadi luar biasa jika dikaitkan dengan konteks persaingan bisnis seluler antara Telkomsel dengan XL.

Apalagi sebelumnya, Sule menjadi bintang iklan untuk XL.

Apa yang mengusik saya bukanlah soal kepindahan Sule dari bintang iklan XL menjadi bintang iklan Telkomsel. Namun kalimat “Saya kapok diboongin ama anak kecil,” yang sungguh mengganggu jika dikaitkan dengan peran Sule dalam sebuah versi iklan XL sebelumnya.

Pada iklan itu, selain Sule, XL juga menggunakan jasa salah seorang bintang cilik bernama Baim. Nama asli bocah itu Ibrahin Al Katiri dan umurnya baru beranjak lima tahun.

Usia lima tahun, yang kerap diasosiasikan dengan masa bocah yang masih penuh dengan kepolosan dan kejujuran ini dilihat sebagai nilai jual oleh XL.

Jika merujuk pada pendapat Lesia Oesterreich, M.S dari Bidang Kajian Pembangunan Manusia dan Keluarga Iowa State University, Amerika Serikat yang dimuat dalam situs www.nncc.org, usia yang tengah dijalani Baim memang belum sepenuhnya mengenal konsep berbohong.

Pada umur empat tahun, demikian Lesia, bocah kerap berbohong untuk melindungi dirinya dan teman-temannya, namun ia sesungguhnya tidak benar-benar memahami konsep mengenai kebohongan. Antara imajinasi dan kebohongan, seringkali dimengerti sebagai hal yang sama.

Sementara pada umur lima tahun, disebutkan Lesia, bahwa seorang bocah masih bingung mengenai batasan antara kenyataan dan khayalan. Pada usia ini, bocah juga cenderung menjadi lebih kritis dan memiliki rasa malu terhadap kesalahannya sendiri.

Tentu ukuran-ukuran ini relatif dan tidak mutlak. Bergantung pada beragam faktor, seperti dengan siapa ia bergaul, seberapa lama ia berinteraksi dengan lingkungannya, apa saja yang dilihat, didengar, dan dibacanya.

Kepolosan bocah ini seperti terdapat pula dalam diri Baim dimanifestasikan dengan sedemikian hebatnya dalam visualisasi iklan XL yang melibatkan pula Sule dan seorang bintang perempuan bernama Putri Titian.

Pada iklan tersebut, Baim yang telanjur (dipaksa) menganggap Sule sebagai “jelek” bergeming dengan “kejujurannya” sekalipun Sule mencoba Baim untuk mengubah anggapan itu dan menjadikannya sebagai “Om Sule Ganteng.”

Saya tidak hendak membicarakan konsep “ganteng” dan “jelek” yang relatif itu, sekalipun pada iklan tersebut terasa sekali ada pemaksaan mengenai persepsi (sutradara, produser, penulis naskah) pribadi yang ingin dijadikan pemahaman umum.

Namun persoalannya adalah eksploitasi soal anggapan kejujuran pada bocah yang kemudian dilanjutkan dengan kalimat “Sejujur Baim, sejujur XL.”

Persoalan jadi makin rumit ketika saya lihat iklan milik operator seluler Telkomsel yang barusan ditayangkan sebuah stasiun televisi swasta. Pada iklan itu, Sule yang sebelumnya jadi bintang iklan XL mengaku “tobat.”

Sekali lagi, saya samasekali tidak mempersoalkan berpindahnya bintang iklan dari satu perusahaan ke perusahaan lain yang menjadi kompetitor dalam bidang sejenis. Karena ini kan memang konsekuensi sangat logis dari sebuah persaingan bebas dalam bingkai industri.

Apa yang kemudian membuat bulu kuduk saya berdiri adalah kalimat terakhir Sule dalam iklan terbaru Telkomsel itu.

“Saya kapok diboongin ama anak kecil.”

Cobalah, mengerti soal konsep berbohong pun tidak, bagaimana anak kecil bisa disebut “ngeboong.”

Atau malah, jikapun Baim sudah paham soal konsep berbohong itu, saya tidak bisa membayangkan betapa masygulnya hati bocah mungil yang polos itu demi mengetahuinya predikat baru yang dilekatkan padanya.

Pembohong.

Soalnya menurut Lesia, pada usia lima tahun, sesungguhnya telah ada pemahaman mendasar mengenai konsep benar dan salah.

Sekarang coba kita sama-sama lihat dampak isi kalimat itu secara lebih luas lagi. Secara lebih menyeluruh, sesuai dengan beragamnya tingkat pendidikan, pendapatan, dan pemahaman di negeri ini.

Mungkin saya terlalu berlebihan jika mengatakan, akan banyak orang-orang tua yang beranggapan bahwa anak-anak kecil seusia itu memang sudah selayaknya pandai berbohong. Sehingga jika suatu saat ada anak-anak mereka yang tengah mengutarakan sebuah pendapat yang mungkin saja berupa imajinasi dan jadi pintu gerbang daya kreasinya, si orangtua bakal menghardik.

“Bapak kapok diboongin sama anak kecil.” atau “Masak kamu boongin Emakmu terus.”

Padahal, pada usia antara empat tahun dan lima tahun, seorang bocah menurut pendapat Lesia sudah memahami dan mengingat apa-apa yang harus dikerjakannya dan dapat memahami serta mengormati berbagai aturan. Bahkan, kerapkali meminta izin pada orang dewasa sebelum melakukan sesuatu.

Bayangkan, jika berbagai potensi dan daya di masa bocah ini diberangus oleh egoisme yang melulu bicara soal persaingan. Mengenai kemenangan, kekalahan, keuntungan.

klo gk salah sumbernya dari "kompasiana" (linknya lupa..hehe)

0 Response to "XL Vs Telkomsel, Persaingan yang melibatkan bocah polos"

Post a Comment